1 Juli 2011

Mimpi dan saya bersyukur :')

Suatu hari, akan saya miliki sebuah kamar menghadap ke laut dengan sedikit pemandangan kebun sederhana sebelumnya. Akan ada bunga lili tertanam apik membatasi taman dan lautan. Terlihat hamparan pasir pantai yang tak banyak namun cukup untuk menegaskan rumah itu ada di tepi laut.

Penglihatan saya tak’kan jauh dari tenggelammnya mentari yang buat lautan keemasan. Akan secara sadar saya menantikan atau mengikuti pergantian kuasa dewa malam dengan peri pagi.

Kecupan lembut mentari pagi yang hangat haruslah cukup membuat saya bersyukur. Bersyukur atas kecukupan jiwa saya atas pemandangan yang cukup di luar jendela ini, tempat saya terduduk saat ini.

Saya akan banyak menghabiskan waktu duduk disana. Tepian jendela besar. Tepian jendela itu akan cukup untuk diduduki, entah dalam pose bersimpuh atau termenung. Bingkai putih dikeempat sisi tak menjadi penghalang.

Korden kuning gading lembut nan tipis dengan motif hijau dedaunan seolah membungkus saya dari pandangan dewa malam. Namun akan saya cukupkan untuk cahaya bulan mengintip masuk lewatnya.

Dari dalam jendela mungkin akan saya lihat pria tersenyum manis melambaikan tangannya pada saya, seolah mengisyaratkan cinta di hatinya. Pun gadis kecil yang sibuk merawat lili dihadapannya, tersenyum manis memandang kearah saya. Ahh, senyuman menenangkan dipadukan dengan deburan ombak samar-samar.

Senyuman itu, senyuman itu harusnya cukup membuat saya bersyukur. Bukan hanya bersyukur atas kecupan mentari tapi juga senyum cahaya kehidupanku kelak.

Ketika jenuh menyergap saya tiba-tiba dan stress mulai merajalela, jendela ini adalah pintu yang akan membuang semua gundah ke angkasa. Menenggelamkan asa dalam-dalam.

Sejak kecil hanya bintang itu yang sanggup tenangkan saya. Pun demikian saat itu. Harusnya langit bertabur bintang cukup buat saya bersyukur.

Tapi apa? Apa saya bersyukur?
Mungkin nanti, saat saya termenung disudut jendela itu sambul memandang lili yang berbatasan dengan laut. Mungkin saya akan mensyukuri semua hidup yang Kau pinjamkan, Tuhan. Namun sekarang, aku masih belajar. Belajar bersyukur.

D I A M

bahkan kegalauan seharusnya sudah terhenti hari ini. tidak ada lagi kegelisahan yang masih mengendap. namun nyatanya?

bukan galau, bukan. galau? apa itu? bukan galau. bagaimana kalau disebut insecure? lebih enak kelihatannya. lebih gaya.

dan masih, cerita ini bukan tentang cinta termehek-mehek ala abege masa kini. sudah bukan masanya. sudah bukan fasenya. sudah harus berlalu, sudah harus lulus dari tahap itu.

pendek kata, kabut ini kian melebar pun terlalu jauh melangkahkan kaki, masuk dalam ranah yang seharusnya tak terjamah.

arah ini harusnya tak kesana. tujuannya tidak kesana. namun kadang, kita tak sadar sudah berada dimana sampai kita benar-benar membelalakan mata atau menampar pipi sendiri untuk memastikan dimana kita berdiri.

mungkin secara tak sadar tarikan diri atas pergumulan kebersamaan semakin kuat terasa. tak menolak. tak ada perlawanan. untuk apa melawan? apa saya akan menang? apa saya akan tersungkur lalu terkubur? belum tentu

tempat saya berdiri sekarang jelas berjarak, berspasi berbeda dimensi dengan kalian. tidak ada yang lebih tinggi memang, tak ada yang lebih di depan hanya saja berbeda. mungkin saya di dalam dan kalian di luar. mungkin begitu.

lalu? apa lantas kita tak harus saling menjaga? saya kembali pantulkan kaca dihadapan saya dan bertanya, apa saya sudah melakukan hal yang saya inginkan dari kalian? belum. pasti belum dan saya yakin belum.

maka diam menjadi pilihan. diam lebih luas maknanya. silakan berikan arti sendiri. silakan persepsikan sendiri.

buat saya, diam itu pilihan. pilihan sadar saya. buat saya, diam itu menjaga. entah apa yang saya jaga. yang jelas, kalau harus ada luka biar itu tersimpan dengan baik, tertutup dan hanya dapat dirasakan sendiri.

saya jelas sekali ingat, ada yang mengatakan "kesedihan itu nikmatin aja sendiri" atau "ga semua galau harus diumbar" mungkin ada juga yang ekstrem "nangis aja dibagi-bagi, kalo seneng sendirian. fak!" . reaksi saya? ketawa! habis mau apalagi.

intinya, saya menjaga maka saya diam. bukan menghindar, hanya tanpa sadar jaraknya makin lebar dan entah mengapa sulit sekali rasanya menyeberang. mungkin karena saya hanya diam.

owya, bagaimana cara kalian menjaga? menjaga perasaan orang yang kalian panggil sahabat? dengan diam saya menjaga mereka. dengan diam saya bersikap.




"diam bukan berarti tidak membela"
Widiawati via Perempuan Berkalung Sorban